Pernah sekilas membaca buku otobiografi ini di perpus. (yang versi Indonesianya). Tidak sampai selesai memang. Namun cukup menarik karena alasan berikut ini :
1. (alm) Jenderal Besar Soeharto ternyata "bisa" menulis dengan cukup apik dan sistematis,
2. secara garis besar pemikiran beliau terlihat sangat pro-rakyat kecil,
3. Soeharto, dan ini yang ter-penting menurut saya, memposisikan dirinya sebagai pembela dan pendukung hak-hak rakyat Palestina dan Bosnia Herzegovina, saat beliau mengomentari per
Pernah sekilas membaca buku otobiografi ini di perpus. (yang versi Indonesianya). Tidak sampai selesai memang. Namun cukup menarik karena alasan berikut ini :
1. (alm) Jenderal Besar Soeharto ternyata "bisa" menulis dengan cukup apik dan sistematis,
2. secara garis besar pemikiran beliau terlihat sangat pro-rakyat kecil,
3. Soeharto, dan ini yang ter-penting menurut saya, memposisikan dirinya sebagai pembela dan pendukung hak-hak rakyat Palestina dan Bosnia Herzegovina, saat beliau mengomentari perjuangan kaum muslim disana, (termasuk instruksi pengiriman Pasukan Garuda ke Bosnia saat itu)
4. Soeharto sempat berpendapat tentang kematian. Bahwa ybs, berharap kematiannya kelak setelah adanya "sedikit saja" manfaat buat negeri ini. Buku ini ditulis kira2 tahun 90-an, dan saat itu makam beliau sudah dipersiapkan di Giri Bangun.
Jujur saya cukup terharu atas refleksi perjalanan hidup beliau, terlepas dari berbagai "dosa besar dan kesalahan"-nya di masa lalu. No one's perfect.
Point no. 1. Setahu saya ini buku ada penulisnya deh. Semacam Ramadhan K.H. yang suka menulis biografi orang. Kalau tidak salah namanya Dwipa
Mas Ryan,
Point no. 1. Setahu saya ini buku ada penulisnya deh. Semacam Ramadhan K.H. yang suka menulis biografi orang. Kalau tidak salah namanya Dwipayana. Apa yang di Unyil itu kalo ndak salah? gitu sih yang saya tahu
...more
Jun 02, 2008 09:59AM
Dia mau tidak mau ikut mempengaruhi, terjadinya peristiwa di depan tivi saat ibu saya sampai bilang, "kowe ki anak wong jowo dhudu sih?" "Loh, kan kalo orang jawa mengkritik orang jawa tidak bakal ada perang antar suku. Adanya perang sesama suku! hehe" jawab saya enteng. Emang sih jaman itu, SMA kalo gak salah, saya doyan banget nyela Jawa Sentrisme ala Soeharto ini. Sampai keluar pertanyaan ibu saya itu mungkin karena sudah dianggap tidak proporsional. Untung bapak saya yang juga orang jawa, ga
Dia mau tidak mau ikut mempengaruhi, terjadinya peristiwa di depan tivi saat ibu saya sampai bilang, "kowe ki anak wong jowo dhudu sih?" "Loh, kan kalo orang jawa mengkritik orang jawa tidak bakal ada perang antar suku. Adanya perang sesama suku! hehe" jawab saya enteng. Emang sih jaman itu, SMA kalo gak salah, saya doyan banget nyela Jawa Sentrisme ala Soeharto ini. Sampai keluar pertanyaan ibu saya itu mungkin karena sudah dianggap tidak proporsional. Untung bapak saya yang juga orang jawa, gak ikutan ngeroyok saya.
Belakangan saya tidak cuma menyalahkan Soeharto seorang karena ke-Jawa-sentrisan itu. Pernah di layar tivi, saya melihat seorang pejabat yang bukan Jawa, men-Jawa-kan dirinya dengan sangat kaku. Wah cammana bapak itu? Butuh naik jabatan barang kali, sambil nanti berbahasa Jawa ala Indro waktu bertamu,
"Kulo nuwu...n!!"
"Sopo kuwi?"
"kulo...",
"Kulo sopo?",
"Kulo nuwuuuun"
(hehehe, ingat drama lebaran Warkop DKI yang bintang tamunya Dyah Permata Sari? Ada Parto dan Eko juga waktu itu, walau Akri belum keliatan.)
Yah saya ngerti ketakutan orang saat itu sama mbah satu ini. Tetapi saya rasa tidak semaksa itu lah. Di sini saya juga menyalahkan banyak sikap kebanyakan kita. Sedikit banyak sisi gelap yang terbangun di Orde Baru adalah sumbangan sikap kita yang sedemikian. Seperti puisi Gottfried August Burger (1747-1794) ini barangkali seharusnya
Alat Melawan Keangkuhan para Pembesar
Mittel gegen den Hochmut der Groβen
Banyak keluhan sering ku dengar
Tentang keangkuhan dilakukan pembesar.
Keangkuhan para pembesar akan menghilang
Jika jilatan pun kita buang.
Soeharto memang orang Jawa dan banyak menggunakan budaya Jawa dalam banyak komunikasi politiknya. Saya masih ingat ia naik jadi presiden dengan pementasan yang setengah menyindir, "Phetruk Dhadi Ratu." Lalu di akhir masa kepresidenannya ia juga sempat mementaskan lakon "Rama Tambak". Seolah berteriak kepada rakyatnya untuk bersatu membangun jembatan merebut kembali Shinta yang diboyong paksa ke Alengka. Menilik kepada latar belakang bapak satu ini memang ia tidak lepas dari Jawa. Oleh karenya itu yang dia tahu. Beda dengan presiden sebelumnya yang juga jawa tetapi lebih luas cakrawala yang ditiliknya.
Pentas di akhir masa kepresidenannya itu sendiri nampaknya jauh dari sampai kepada khalayak. Entah karena apa, sepertinya serempak jawaban sudah tersedia.
Seiring saya bersyahadat lagi sebagai orang Jawa hehe Saya melihatnya ke-Jawa-an bukanlah sebuah alat untuk menafikan keberadaan dan keragaman orang lain di sekeliling kita. Asertifitas kebudayaan dan identitas budaya mestinya sebuah benih dari sekian banyak ragam budaya di Nusantara ini.
Berbeda yah berbeda, bukan seragam. Bahkan sesama Jawa bisa berbeda, seperti saya dan anda dalam memandang ke-Jawa-an itu sendiri.
Buku yang sangat amat subyektif tapi cara penyampaian dan pemikirannya disampaikan secara baik dan sistematis. Ada beberapa bagian yang bila dicermati tidak sesuai dengan isu yang beredar dan adanya pemikiran-pemikiran Beliau yang jatuhnya menjatuhkan pihak lain, tapi ya namanya juga autobiografi.
Point no. 1. Setahu saya ini buku ada penulisnya deh. Semacam Ramadhan K.H. yang suka menulis biografi orang. Kalau tidak salah namanya Dwipa ...more
Jun 02, 2008 09:59AM